Kamis, 29 November 2007

Fwd: [Republika Online] Menikah, Jangan karena Nafsu


12 Mei 2006
Menikah, Jangan karena Nafsu

Wahai para pemuda! jika kamu telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu akan menjaga kehormatanmu. Kalau belum mampu, maka tundukkanlah pandanganmu dan berpuasalah. Karena itu adalah benteng bagi kamu . (HR Al Hakim) .

Seorang pemuda berusia 17 tahun mencurahkan isi hatinya kepada seorang ustadz, "Ustadz, saya kebingungan. Saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidup. Saya merindukan pendamping hidup. Kalau melihat wanita hati saya bergetar aneh. Saya pun kerap membayangkan wanita itu menjadi istri saya. Perasaan ini makin hari makin kuat. Ingin rasanya menghilangkan perasaan-perasaan ini. Saya pikir dengan menikahlah solusinya!

Saya pernah minta izin kepada orangtua untuk segera menikah, tetapi mereka menolaknya. Alasannya, saya masih terlalu muda dan belum bekerja. Saya mengerti, tetapi saya tidak mau terus-terusan seperti ini. Pernah terpikir dalam benak saya untuk nikah bawah tangan saja. Saya bingung Ustadz!" Ustadz itu menjawab, "Dik Arman, saya kagum dengan niat baik adik. Memang, nikah menjadi solusi mengatasi perasaan yang adik rasakan. Namun, pernikahan bukanlah sesuatu yang sepele. Jangan sampai menikah hanya atas dasar nafsu. Banyak hal harus dipikir dan dipertimbangkan dengan matang. Jangan sampai adik menyesal di kemudian hari. Sekarang, pikirkanlah kembali baik-baik keinginan itu dan lain waktu kita diskusi lagi".

Keinginan Arman dipicu dua faktor. Pertama, faktor internal. Menurut Dr Akrim Ridha, Arman tengah berada dalam "fase gejolak". Dalam fase ini mereka mengalami perubahan fisik dan psikis (kejiwaan). Perubahan fisik laki-laki ditandai dengan membesarnya suara dan otot-otot. Sedangkan perempuan, ditandai dengan keluarnya darah haid dan berkembangnya payudara.

Secara kejiwaan mereka mengalami gejolak emosi yang ditandai dengan perubahan mood (suasana hati) yang cepat. Penelitian yang dilakukan Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan waktu 45 menit untuk berubah dari mood "senang luar biasa" ke "sedih luar biasa".

Pada fase ini, pandangan kepada orang lain berubah, termasuk kepada lawan jenis. Dalam dirinya tumbuh rasa suka yang berkembang menjadi rasa sayang. Pada saat itulah ia ingin dicintai dan mencintai lawan jenis.

Perasaan seperti ini butuh penyaluran. Kalau tidak ada, mereka akan gelisah. Saat kegelisahan ini memuncak, tidak jarang mereka melakukan apa saja untuk menyalurkan kebutuhan itu, terrmasuk pacaran, nonton tayangan porno, seks bebas, dsb. Tentu, penyimpangan ini hanya akan dilakukan pemuda yang lemah iman.

Kedua, faktor eksternal yaitu lingkungan. Pepatah Arab yang menyatakan, "al-insan ibnul bi'ah" manusia itu anak lingkungan. Keinginan, karakter dan kondisi kejiwaan seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ia lihat dan dengar. Apa yang dialami Arman dipicu pula oleh suguhan media massa yang bisa merangsang libido seks, penampilan lawan jenis yang minim, obrolan bertemakan lawan jenis dan ajakan mereka untuk menyalurkan kebutuhan biologis (walau belum tentu diperbolehkan). Selain faktor-faktor tersebut, Arman pun makin tertekan dengan ditolaknya permintaan untuk menikah.

Bagi para pemuda yang berada pada fase ini, Rasulullah SAW memberikan jalan keluarnya. ''Wahai para pemuda! jika kamu telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu akan menjaga kehormatanmu. Kalau belum mampu, maka tundukkanlah pandangananmu dan berpuasalah. Karena itu adalah benteng bagi kamu.'' (HR Al Hakim).

Solusi Rasulullah SAW ini ditujukan kepada dua pemuda. Yaitu pemuda yang memiliki kemampuan menikah dan pemuda yang belum mampu menikah. Kemampuan yang dimaksud, paling tidak dalam empat hal. Pertama, ilmu. Kewajiban-kewajiban dalam pernikahan menuntut seseorang memiliki ilmunya. Dengan ilmunya ia bisa melaksanakan kewajiban dengan baik dan tidak menyimpang.

Kedua, kemampuan memenuhi tanggung jawab. Setelah menikah seorang suami berkewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya, memberikan makan, pakaian dan tempat tinggal sesuai kesanggupannya. Hal ini tidak mengharuskan seseorang memiliki profesi tertentu dengan gaji tertentu pula. Yang terpenting adalah seseorang bersedia memeras keringat untuk menjemput rezeki. Bentuk penjemputannya tidak penting, asal halal. Demikian pula seorang istri, ia wajib menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka. Tidak menuntut suami memberikan sesuatu yang tidak disanggupinya.

Ketiga, kesiapan mental. Berumahtangga tidak selalu indah dan menyenangkan seperti yang dibayangkan. Ada saat-saat di mana seseorang dituntut sabar menghadapi cobaan. Termasuk kesiapan untuk menerima kekurangan pasangan hidupya.

Keempat, kesiapan ruhiah. Seseorang yang memiliki kesiapan ruhiah, sikapnya akan selalu terkendali. Jika ia menyukai istri atau suaminya, kecintaannya itu akan melahirkan sikap memuliakan. Jika ia sedang marah, kesal, atau jengkel ia tidak akan menzhalimi pasangannya. Kesiapan ruhiah bisa dicapai dengan ibadah yang istikamah.

Empat hal tersebut bisa dijadikan alat ukuran kemampuan orang untuk menikah. Bagi orang yang sudah memiliki keempatnya, menikah jauh lebih baik baginya. Bagi pemuda yang belum mampu, Rasulullah SAW menganjurkan menahan nafsu dengan menundukkan pandangan dan berpuasa. Bersamaan dengan itu, ia harus berusaha memenuhinya, sampai ia benar-benar siap menikah. Wallaahu a'lam.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=247776&kat_id=105



--
Silakan, kunjungi website (blog) saya ini :
http://yahumairah.blogspot.com